Sejarah
AIDS
pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni
1981, ketika Centers for Disease Control and
Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih
diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima
laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Dua
spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari
mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan
berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari
primata.
Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun
selatan. HIV-2 berasal dari Sooty
Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau,
Gabon,
dan Kamerun.
Banyak
ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan
primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang
lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik
AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat
bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
Pengetian
AIDS dan Virus HIV
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV
dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit
dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina,
cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan
intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi
darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu
dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Gejala
dan komplikasi
Gejala-gejala utama AIDS.
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus,
fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS.[7]
HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan.[8][9]
Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup
pasien.
Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada
orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya
dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab
penyakit ini adalah fungi
Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan
pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini
masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites,
walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4
kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi,
dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi
pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan
masalah potensial pada penyakit ini.
Penyakit
saluran pencernaan utama
Esofagitis
adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus),
yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV,
penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis)
atau virus (herpes simpleks-1 atau virus
sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria.
Diare kronis yang tidak
dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab;
antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella,
Listeria,
Kampilobakter,
dan Escherichia coli), serta infeksi
oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis,
Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada
beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani
HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain
itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik
yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium
akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan
cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta
mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan
dengan HIV.
Penyakit
syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi
HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas
sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari
penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya
menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis),
namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges
(membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus
neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala,
lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan
dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Pasien
dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA
penyebab mutasi
genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma
Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut
virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam
bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan,
dan paru-paru.
Kanker
getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan
terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma
Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like
lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer,
lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali
merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk.
Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian
besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma
Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV
dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus
papiloma manusia.
Pasien
yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum),
dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang
umum seperti kanker payudara dan kanker usus
besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien
terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian
menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
Infeksi
oportunistik lainnya
Pasien
AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan.
Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus
sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada
usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada
retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat
menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis,
kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis)
pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
HIV yang baru memperbanyak diri
tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada
permukaan limfosit
setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS
merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga,
dan sel dendritik.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+
dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah
membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah
kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian
timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan
memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa
terapi antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh
tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2
bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV
(seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah
orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa
variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang
sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS,
serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
Penularan
seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko
hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan
risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan
juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara,
Eropa,
dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil
pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA
HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita
lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung
darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi
baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara,
Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat
anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan
(perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan
walaupun lebih jarang
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".
Penularan
masa perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.
Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan
persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses
terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar,
tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44]
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu
saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
Diagnosis
Sejak
tanggal 5 Juni
1981, banyak definisi yang
muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi
Bangui dan definisi
World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian,
kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan
untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak
sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi
HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara
maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control
(CDC) Amerika Serikat.
Sistem
tahapan infeksi WHO
Pada
tahun 1990, World Health Organization (WHO)
mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem
tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada
bulan September
tahun 2005.
Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah
ditangani pada orang sehat.
- Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
- Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
- Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
- Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
Sistem
klasifikasi CDC
Terdapat
dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk
penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan
dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada
mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata
AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993, CDC memperluas
definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di
bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya
sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan
kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas
200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang
ada telah sembuh.
Tes
HIV
Banyak
orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1%
penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan
persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5%
wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum
memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil
tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum
pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor
dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus
selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV
umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum,
plasma,
cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period)
bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu
3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat
pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan
untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk
diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara
maju.
Hubungan
seksual
Mayoritas
infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria
atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki
berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah
satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi
HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom
menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin,
mentega,
dan lemak babi
tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat
melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan
dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita
adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom
wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina —
untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah
bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau
untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan
tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan
pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa
pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang
penting.
Penelitian
terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum
terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.
Pada
bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan
risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai
sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan
sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada
laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga
mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung
tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu
mencegah infeksi HIV.
Semua
organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi
jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil
narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan,
dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk
tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih
disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah
negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum
atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan
jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa
perlu resep dokter.
Penularan
dari ibu ke anak
Penelitian
menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan
formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission, MTCT).]
Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi,
pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan
selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak
di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak;
630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga
kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
Penanganan
Abacavir – Nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor
(NARTI atau NRTI)
Struktur kimia Abacavir
Sampai
saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP
memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga
memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan,
mual, dan lelah.
Pencegahan
1 komentar:
As stated by Stanford Medical, It's indeed the ONLY reason this country's women get to live 10 years longer and weigh 19 kilos less than us.
(And realistically, it is not related to genetics or some secret exercise and EVERYTHING related to "HOW" they eat.)
BTW, What I said is "HOW", and not "what"...
TAP on this link to find out if this little questionnaire can help you decipher your real weight loss potential
Posting Komentar